Sabtu, 04 Februari 2012

Masalah Klasik Hidup di Dunia


Persoalan tentang manusia memang tak akan pernah ada habisnya, masalah demi masalah terus saja bermunculan. Tak sedikit dari kita, umat manusia yang tidak kuat menghadapi masalah sering kali mencari kambing hitam atas masalah yang dihadapinya. Mereka dengan mudahnya menghakimi orang lain tanpa bukti yang jelas, mempermainkan timbangan peradilan sesuka hati, menjatuhkan sesamanya tak peduli itu teman, saudara bahkan orang tuanya sendiri. Mengerikan!

Mari kita tengok sejenak salah satu pemicu rendahnya moral manusia ini. Sedikit bermain teka-teki sepertinya akan menyegarkan kita untuk mengingat sebuah benda yang hampir pasti ada disekeliling kita. Bahkan sangat dekat dengan kita. Benda apakah itu? Cobalah tebak, dia bukanlah benda hidup, tapi dia dapat mengantarkan kita untuk terus melanjutkan hidup. Bentuknya tidaklah besar, tapi nilainya dapat membuat orang menjadi besar. Seringkali untuk mendapatkan benda ini kita harus menguras tenaga dan keringat. Bagaimana? Anda tahu siapa dia?
Ya, betul sekali. Alat transaksi jual beli ini memang dapat membuat orang menjadi gila. Gila akan harkat, martabat yang bersifat duniawi. Kita cek satu per satu alasan dan buktinya: 
  1.  Setiap manusia butuh sandang, pangan, dan papan. Untuk mendapatkan itu semua sudah sangat jarang sekali yang menggunakan sistem barter atau mungkin hasil ladang sendiri, kalaupun mengandalkan hasil ladang tetap tidak akan mencukupi kebutuhan. Sehingga dapat terlihat masyarakat dari zaman ke zaman semakin konsumtif saja.
  2. Lapangan pekerjaan saat ini sangat susah didapatkan, kalaupun ada lapangan pekerjaan yang mudah dan halal, mungkin hasilnya hanya pas-pasan. Kepentingan lainnya baru dapat terpenuhi setelah mengirit seirit-iritnya jatah makan.
  3. Banyak celah untuk menjadi OKD (orang kaya dadakan), tetapi kehalalannya menjadi hal yang sering kali dipertanyakan. Dari sinilah akar permasalahan sosial bermunculan, berbagai bentuk kriminalitas seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penculikan, tindakan asusila, penyalahgunaan hukum, dan sejenisnya menjadi mata pencaharian yang dianggap mudah serta menguntungkan.
Kita seolah-olah diperbudak oleh uang. Bohong besar jika seorang manusia tidak membutuhkan uang dalam hidupnya, karena zaman menuntut kita untuk menjadi kaya dan berkecukupan ataupun hanya sekedar untuk menyambung hidup dengan sejahtera. Ada suatu hal yang menarik saat mendengarkan curhatan seorang penjual bakso kepada temannya,

“Emang susah hidup di jaman kayak begini. Orang kalo gak punya uang, gak bakal dihormatin sama yang lain. Makanya banyak anak-anak disekolahin tinggi-tinggi, tujuannya apa? Gak jauh-jauh dari pengen hidup yang lebih layak kan? Ya UUD lah, ujung-ujungnya duit juga. Yah, namanya juga hidup. Gak ada duit mah susah ya kang?”
Mengintip sekelumit percakapan kecil ini, ternyata masih banyak manusia yang berfikir bahwa dengan uang kita akan mendapatkan segalanya. Tetapi jika kita tela’ah kembali, Islam mengajarkan bahwa uang bukanlah segalanya karena dia tidak bisa membeli kebahagiaan dan keimanan seseorang. Dalam konteks ekonomi Islam harta yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah swt dan harta yang Allah titipkan kepada kita itu didalamnya terdapat hak orang-orang fakir, miskin, yatim, dll. Maka dari itu kita dituntut untuk memahami bagaimana sebenarnya peran harta dalam ketentuan syara’, di antaranya untuk :[1]
  1. Kesempurnaan ibadah mazhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
  2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt., karena kefakiran dapat mendekatkan diri kepada kekufuran.
  3. Meneruskan setafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.
  4. Menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat
”Tidaklah seorang hamba beriman hingga aku (Rasulullah) menjadi orang yang lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya dan manusia semuanya.” (HR. Bukhori)
Begitulah Islam mengajarkan. Sesungguhnya masalah yang kita terima di dunia ini semata-mata berasal dari Allah, sehingga penyelesaian yang terbaik adalah kita kembalikan semuanya kepada Allah. Harta, uang, memang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup, tetapi jika kita terlalu mencintainya maka ia akan menjadi masalah besar dalam hidup kita. Akar masalah ini akan senantiasa menjadi akar kesejahteraan manusia jika kita dapat mengelola berlandaskan nilai-nilai Islam serta menjalankannya penuh kesungguhan.

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” QS. Al-An’aam (6): 141
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001, hlm. 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar